lensanews.id ✓ SOLO
Pengurus dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pesawaran menggelar acara Studi Komparatif ke Solo selama dua hari.
Kegiatan ini digelar untuk peningkatan kapasitas, wawasan dan kemampuan anggota organisasi kewartawanan tertua tersebut. Kegiatan diikuti terdiri dari wartawan media cetak, elektronik dan online tersebut berjalan lancar dan aman.
Acara dimulai hari Selasa 22 April 2025 rombongan mengunjungi sejumlah tempat. Diantaranya di Solo dan Keraton Mangkunegara.
Para anggota PWI Pesawaran disambut hangat oleh Ketua PWI Solo Anas Syahirul beserta jajarannya, dan anggota PWI Pesawaran kemudian belajar sejarah dan manfaat Monumen Pers Nasional Surakarta (Solo).
Kala sambutan, Ketua PWI Pesawaran, M. Ismail, S.H. mengatakan, Surakarta menjadi kota tujuan studi komparatif karena memiliki berbagai keistimewaan. Salah satunya karena di kota ini merupakan kota lahirnya organisasi pers terbesar dan tertua di Indonesia, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) .
“Tujuan kami kemari untuk mempelajari sejarah pers di Monumen Pers Nasional sekaligus belajar ke rekan – rekan PWI Surakarta, tentang organisasi dan sejarah lahirnya PWI,” ucap Ismail, Selasa (22/05/2025).
Sementara, Ketua PWI Khusus Surakarta, Anas Syahirul didampingi anggota PWI Khusus Surakarta dan pengelola Monumen Pers Nasional menguraikan Surakarta yang sering disebut Solo memang menjadi kota istimewa bagi insan pers.
Karena selain sebagai Kota lahirnya PWI juga ada arsip-arsip berita sejak belum lahirnya PWI yang dikelola Monumen Pers Naaional.
“Di kota kami ini, PWI dilahirkan. Karena itu, PWI Khusus Surakarta memiliki keistimewaan dan tanggung jawab tersendiri untuk menjaga marwah Persatuan Wartawan Indonesia,” paparnya.
Dalam kesempatan itu Anas Syahirul juga mengulas salah satu sejarah unik yang ada di Surakarta yaitu sejarah Radio Kambing.
“Meskipun Indonesia telah merdeka tapi agresi militer terus berupaya merebut kekuasaan Republik Indonesia, dan peran medianya yaitu RRI, jadi RRI itu bukan hanya untuk menyiarkan berita tapi juga membantu para pejuang bangsa, dari Irian Barat, Jogja, dan Surakarta sendiri, pada waktu itu agresi militer pada tahun 1948,” ungkap Anas.
Kemudian lanjut dia, jadi waktu itu, semua pemancar radio dilarang untuk menyuarakan siaran berita yang sebagian besar untuk mengobarkan semangat juang kepada masyarakat dalam melawan penjajah belanda kemudian aset aset yang ada di tanah air akan dirampas oleh penjajah.
“Jadi angkasawan – angkasawati RRI berjuang dengan dengan sekuat tenaga ingin menyelamatkan pemancar Radio sampai di panggul, karena pemancar nya berat sekali, kemudian agar pemancar tersebut aman dari kejaran tentara Belanda jadi pemancar itu diungsikan dari tempat satu ke tempat yang lain sehingga sampailah di sebuah Desa Balong Kecamatan Ngawi Kabupaten Karanganyar, tepatnya sebelah utara lereng Gunung Lawu,”ungkapnya.
Meski begitu, Pemancat Radio terus dikejar oleh tentara Belanda, tapi berkat kegigihan angkasawan dan angkasawati berhasil mengamankan Pemancar tersebut dan disembunyikan dikandang Kambing.
“Jadi angkasawan bisa siaran untuk mengobarkan semangat perjuangan kepada masyarakat, dan dari situlah semua orang menyebut Radio Kambing,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pengelola Monumen Pers Nasional Surakarta, hingga saat ini terus berusaha mempertahankan berita-berita media terutama koran melalui proses digitalisasi. Selain itu juga proses digitalisasi bisa diakses melalui elektronik paper. (Indra).