lensanews.id ✓ KOTA METRO
Batu cincin atau batu akik yang kilau dan beragam model itu, masih tetap menjadi favorit di Kota Metro Lampung.
Faktanya, salah satu penghias pada jari tangan itu pun terpakai di jari tokoh negara.
Cincin yang biasa dipakai orang biasa hingga tokoh negara tersebut, pernah menjadi simbol kepercayaan diri, status sosial, bahkan simbol pergaulan di berbagai kalangan.
Seperti banyak hal, cincin akik di negeri ini, sudah menyebar luas tanpa batas, dan dibiarkan mati tanpa makna.
Dahulu pasar batu cincin pernah menjadi idola dan favorit di semua kalangan, anak muda, orang tua, miskin, kaya bahkan para tokoh-tokoh politik dan tokoh Bangsa.
Namun belakangan pasar batu cincin mulai kurang viral, bahkan sebagian orang-orang menilai pasaran batu akik mulai runtuh, ternyata itu nya kurangnya narasi dan orang – orang kurang mempromosikan nya
Faktanya, dari ratusan orang, mungkin hanya beberapa orang saja yang tidak menggunakan dan memakai cincin.
Toma salah satu penggemar batu akik Kota Metro, pada media ini Sabtu 3 Mei petang mengatakan, Indonesia adalah negeri yang kaya tapi selalu gagal mengelola kekayaan secara berdaulat. Batu cincin adalah mikro-kasus dari itu: kekayaan alam dijual murah, diserbu barang tiruan, dimain-mainkan tren sesaat, lalu dibuang ketika tidak lagi ‘viral’. Di sisi lain, bangsa lain menjadikan komoditas budaya sebagai kekuatan lunak nasional—kopi Ethiopia, tenun India, ginseng Korea. Kita? Kita tertawa saat tren batu cincin mati, seolah itu hanya nostalgia, bukan peluang strategis.
Inilah saatnya kita berhenti memperlakukan batu cincin seperti hobi bapak-bapak pensiunan. Batu cincin harus dimaknai ulang sebagai perlawanan budaya terhadap arus globalisasi yang seragam. Sebagai gerakan ekonomi mikro yang berbasis lokal namun berorientasi global. Sebagai seni, warisan, dan investasi.
Kita butuh negara yang hadir, bukan sekadar untuk membuat festival seremonial, tapi menciptakan ekosistem—regulasi sertifikasi, dukungan riset geologi, kurikulum SMK batu dan logam, serta digitalisasi pasar. Kita butuh komunitas yang terorganisir, bukan hanya kumpul-kumpul lomba cincin, tapi juga advokasi produk lokal dan sistem distribusi yang modern.
Sun Tzu menulis: “Pertempuran dimenangkan sebelum perang dimulai.” Artinya, kemenangan adalah hasil dari strategi yang tajam, bukan keberuntungan. Jika hari ini kita tidak menyusun ulang strategi kebangkitan batu cincin, kita sedang memberi ruang bagi generasi mendatang untuk hanya mengenalnya sebagai kenangan absurd tahun 2015.
Batu cincin bukan soal kilau. Ia adalah soal akar. Dan bangsa yang tidak menjaga akarnya, akan tumbang di hembus angin zaman. (Daus)